Resensi Rekaman : DREAM THEATER Metropolis Pt.2 : Scenes From a Memory (1999)


Photo Credit : Net
 Semuanya diawali dengan bunyi metronom yang frekuensinya mirip detik-detik jam. Lalu desah napas. Lalu masuklah suara merdu seorang penyanyi perempuan. Lalu suara keyboard yang hening. Terakhir suara gitar akustik, diiringi sebuah nyanyian yang lembut. Itulah Regression, lagu pembuka yang menjadi prolog album ini. Prolog ini, yang merupakan nukilan dari lagu The Spirit Carries On (dengan sedikit pengubahan lirik), diciptakan oleh John Petrucci, gitaris Dream Theater. Beberapa kali saya membaca dan mendengar kalau John Petrucci adalah gitaris yang kurang menjiwai permainannya. Ada yang menyatakan ia seorang plegmatis yang tampak dingin dan cuek. Bahkan bukan hanya Petrucci, gaya bermain para personil Dream Theater dianggap seperti robot -- kaku. Bila Anda pernah menyimak video instruksional permainan gitarnya bertajuk Rock Discipline, apa yang saya baca dan dengar itu memang ada benarnya: John Petrucci memang kalem dan tak menggebu-gebu dalam bicara. Namun, album Metropolis Pt. 2: Scenes from a Memory ini tampaknya menyuguhkan sesuatu yang kontras dengan kekaleman Petrucci. Petrucci -- tentunya dengan kebersamaan di dalam Dream Theater -- menyusun skenario album yang matang, sekaligus memadukan musik berirama cadas dan lembut dengan amat memikat. Saya menyebut adanya skenario yang matang dalam lagu ini karena ada jalinan kisah yang amat tragis dan pedih dalam lirik-lirik lagu non instrumental dalam album ini. Petrucci sebagai penggagas album ini menciptakan paling banyak lirik untuk lagu di album ini. Dari 12 lagu (tidak termasuk 2 lagu instrumental), Petrucci menciptakan lirik untuk 5 lagu, Mike Portnoy 3 lagu, sementara James LaBrie dan John Myung masing-masing 1 lirik. Di sinilah sebenarnya keluwesan Petrucci dan Dream Theater patut diperhitungkan. Kisah Tragis Asmara Victoria Saya kurang tahu, apakah ada musisi atau grup band yang pernah menjadikan album mereka seperti yang dilakukan Dream Theater di sini. Dari lagu pertama hingga terakhir, ada benang merah berupa jalinan kisah cinta yang berakhir sangat pedih. Victoria, salah satu tokoh dalam album ini, mati karena cinta segitiga. 

  Victoria Page (fiktif) yang meninggal di tahun 1928 adalah seorang gadis yang memiliki mata yang indah. Penggambaran ini ada di dalam lagu Through Her Eyes: Inloving memory of our child, so innocent, eyes open wide." Victoria menjalin kisah cinta segitiga dengan Julian Baynes (The Sleeper) dan saudaranya, Senator Edward Baynes (The Miracle). Di waktu yang lain, di tahun 1999, hiduplah seorang pemuda bernama Nicholas. Ia mengalami gangguan kejiwaan, merasa pikirannya dibayang-bayangi oleh Victoria. Ia pergi ke seorang hipnoterapis untuk menghalau kegalauan batinnya. Di sana ia menjalani sebuah proses regression therapy untuk "bertemu" dengan Victoria. Lagu pertama pun dinyanyikan, berjudul Regression. Nicholas masuk ke masa lalu: "My subconscious mind, starts spinning through time, to rejoin the past once again... Hello Victoria so glad to see you my friend." Dalam lagu-lagu berikutnya dikisahkan kalau Nicholas mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Victoria. Lewat imajinasi yang muncul dari alam bawah sadarnya, cerita seorang pria tua yang tidak dikenal, dan berita di koran tahun 1928, ia mendapati Victoria telah dibunuh secara misterius. Ia bangun dari tidurnya selama beberapa kali. Bolak-baliknya Nicholas dari masa lalu (1928) ke masa kini (1999) membuat ia merenungkan nasib malang yang menimpa gadis itu sampai ia menyempatkan diri mengunjungi makam Victoria. Through Her Eyes adalah lagu dengan latar makam Victoria. Di sana Nicholas merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Victoria dan merasakan kepedihan hatinya. Simaklah penggalan lirik yang mengagumkan ini: I'm learning all about my life By looking through her eyes ... And as her image Wandered through my head I wept just like a baby As I lay awake in bed. Lewat lirik-lirik yang terurai berikutnya, dikisahkan bahwa Julian, kekasih pertama Victoria, telah mengalami kecanduan alkohol. Indikasi ini ditemukan dalam lirik lagu Home: "Shine... lake of fire, lines take me higher, my mind drips desire, confined and overtired." Kecanduan ini membuat Victoria meninggalkannya. Kemudian, perselingkuhan pun terjadi. Victoria jatuh dalam pelukan Senator Edward. Nicholas masih belum dapat menguak misteri kematian Victoria yang rumit. Namun, dari "pengembaraannya" menyusuri kehidupan Victoria, ia mulai menyadari bahwa Victoria hidup dalam dirinya. Kata-kata hipnoterapis pada lagu Fatal Tragedy menjadi jelas maknanya: "Remember that death is not the end but only a transition." Lalu, terdengarlah lagu fenomenal dalam album ini, The Spirit Carries On, yang menjadi klimaks ekspresi John Petrucci dan Dream Theater menggambarkan pencerahan batin Nicholas. Di lagu ini dengan gamblang dinyatakan bahwa kehidupan manusia tak hanya berakhir saat kematian. Simaklah kata-kata Nicholas berikut ini: I used to be frightened of dying I used to think death was the end But that was before I'm not scared anymore I know that my soul will transcend Dan, suara Victoria yang telah mati membuat ia selalu hadir dalam benak Nicholas. Inilah kata-kata Victoria itu: Move on, be brave Don't weep at my grave Because I am no longer here But please never let Your memory of me disappear Ya, selamanya Victoria akan membayangi pikiran Nicholas. Pada akhirnya, di lagu terakhir, Finally Free, Nicholas mulai menguak tabir kematian Victoria: Senator Edward yang terbakar cemburu membunuh Julian dengan pistol. Saat itu Victoria memekik, dan Senator Edward berkata, "Open your eyes, Victoria!" lalu turut membunuh Victoria. Di bagian akhir, kita mendengar hipnoterapis menyalakan mesin mobil, berjalan mengenakan sepatu, mendekati Nicholas. Ia mengucapkan kata-kata yang sama, "Open your eyes, Nicholas!" Dan Nicholas pun menjerit, "Aaah!!!" Nicholas: Reinkarnasi atau Terapi? Begitulah, sosok Nicholas di masa kini (1999) yang "menyatu" lewat regression therapy dengan Victoria Page yang tewas di tahun 1928, digambarkan dalam lagu demi lagu dengan lirik yang apik. 


  Disinilah Dream Theater menunjukkan kepiawaian mereka menyuguhkan kisah yang surealis nan rumit dalam lirik-lirik lagu di album ini. Saya belum banyak belajar tentang sejarah dan perkembangan musik beraliran rock progresif. Musikalitas Dream Theater, menurut banyak kalangan sangat dipengaruhi oleh band-band pencetus aliran ini seperti Yes dan Rush. Namun, saya melihat ada nuansa thrash metal mirip Metallica yang juga kental dalam lagu-lagu Dream Theater di album ini. Dream Theater selalu tampil idealis -- dan bahkan bisa dibilang keras kepala -- menyuguhkan musik-musik yang "memaksa" pendengarnya untuk mendengarkan mereka dengan konsentrasi penuh. Selain itu, beberapa lagu mereka juga sering berdurasi panjang. Lagu Beyond This Life, Home, dan Finally Free di album ini semuanya berdurasi di atas 10 menit. Syairnya tak terlalu banyak, namun perubahan-perubahan irama dari lambat menuju cepat -- atau sebaliknya -- mereka lakukan dengan begitu tertata dan mulus. Sejauh ini, idealisme dan konsistensi para personil Dream Theater telah terbayar dengan popularitas mereka. Popularitas itu pun selalu terjaga dengan kualitas lirik dan lagu yang mereka hasilkan. Album ini disebut-sebut sebagai album yang membuat nama mereka berkibar kembali setelah mereka sebelumnya dikenal luas dengan lagu Pull Me Under dan Another Day yang dimuat dalam album Images and Words tahun 1992.



Komentar

Postingan Populer