Kamerad Edmond : Dokumenter Musik itu Potensial
Judul di atas dengan mudah memberi kesan pada para sidang pembaca, bahwa artikel ini adalah sebuah wawancara tentang sosok Kamerad Edmond. Harus saya akui bahwa sebagian konten wawancara memang mengulas tentang dirinya – atau setidaknya dari jawaban yang ia berikan lah hal itu akan tersurat. Meski begitu ini bukanlah sebuah wawancara tentang Edmond.
Edmond adalah salah satu orang yang berada di balik dokumenter (video manual, begitu dia menyebutnya) berjudul Pamurba Yatmaka Cakra Bhirawa. Dokumenter ini menarik perhatian saya oleh karena tagar yang disematkan kepadanya, yakni video panduan. Panduan dalam bentuk video tersebut agaknya dimaksudkan sebagai peta penunjuk bagi para pendengar album debut Djiwo berjudul Cakra Bhirawa yang dirilis oleh Hitam Kelam Records pada tahun 2014 silam.
Tentu kita bertanya-tanya: untuk apa kita butuh panduan ketika mendengarkan album tersebut. Apakah kita berpontensi tersesat ketika menyimak bait demi bait lirik sekaligus mendengarkan distorsi a la black metal, yang semuanya diolah oleh Djiwo dengan melandaskan fondasi musikalnya pada konsep spiritualisme Jawa? Jawaban untuk pertanyaan tersebut bisa disimpan hingga artikel wawancara ini selesai Anda baca.
Kami berkesempatan menonton dokumenter Pamurba Yatmaka Cakra Bhirawa pada 14 September silam di Rumah Blog Indonesia, Solo. Di sanalah, selepas layar dimatikan, kami berkesempatan mewawancarai Edmond, video-rocker yang terlibat langsung dalam pembuatan dokumenter tersebut. Mari kita simak apa maunya dan apa tujuannya membuat video-manual untuk album yang berusaha berbicara bahwa black metal adalah soal budaya.
Hadid (H): Saya mau mulai dari hal yang sederhana. Tadi kan Anda bilang bahwa membuat film ini bermula dari pertemanan. Tetapi adakah hal yang lebih dari itu, karena saya lihat albumnya sendiri secara konseptual memang sangat kuat?
Edmond (E): Itu salah satu keputusan juga buat bikin itu. Karena sebenarnya gini…awalnya dari…jadi saya certain dulu ya. Awalnya dari tahun 2011 itu saya bikin dokumenter tentang Rock in Solo. Itu menarik karena ternyata Solo punya festival metal bertaraf internasional. Di situlah saya ketemu Djiwo. Dia sebagai narasumber bercerita tentang Solo, tentang festival itu seperti apa. Nah kemudian ternyata dari wawancara itu dia menyebutkan tentang budaya. Hubungan metal dan budaya, yang selama ini ternyata dilakukan sama dia.
Setelah Rock in Solo ini jadi dokumenternya, saya balik lagi. Karena ini menariknya. Saya dengan Djiwo itu intens. Ketemu dan kita ngobrol. Apa sih yang ada di pikiran dia. Black metal itu apa. Karena terus terang saya waktu itu saya awam dengan black metal. Orang tahunya black metal itu selayaknya stigma orang banyak, satanis. Tema-temanya seputar itu.
Ternyata setelah ngomong sama Djiwo, black metal itu adalah musik yang berideologi. Black metal sebenarnya spiritual. Kita bukan menyaksikan, tapi kita mengideologikan itu. Menghayati. Dan Djiwo melakukan itu. Dia melakukan riset dan akhirnya menjadi karya. Sebenarnya di luar anggapan orang-orang yang di luar black metal … malah di scene black metal, itu menjadi sesuatu yang tiba-tiba “wah, black metal bisa gini, toh”. Black metal bisa dikawinkan dengan budaya.
Karena selama ini kan kita melihat Norway (Norwegia), God Father-nya (black metal – red). Sebenarnya Norway sendiri kan mencontohkan jadilah seperti mereka, apa yang mereka perjuangkan, yaitu lokal (lokalitas – red). Dan ketika itu band di Indonesia, jadilah Indonesia dan bukan Scandinavian. Di black metal itu justru banyak yang lupa dengan ‘kita harus menjadi Indonesia’. Kawan-kawan yang mengusung Javanese black metal justru yang saya lihat istimewa. Karena mereka melakukan apa yang dilakukan di sana (Norwegia – red)
H: Saya mau tanya soal teknis filmnya. Yang saya lihat film itu banyak memakai teknik still camera, dengan zoom-in dan zoom-out. Apa yang dinarasikan oleh Djiwo kemudian direpresentasikan ke dalam sejumlah image, seperti kepiting, pemulung, dan segala macam. Kenapa memilih cara menyajikan semacam itu?
E: Jadi Anarcho Brothers itu sebenarnya cuma kelompok orang yang tertarik dengan musik, dan kita mendokumentasikan musik. Sebenarnya itu. Nah, Pamurba Yatmaka sebenarnya begini: karena saya bukan orang Jawa, saya minta Djiwo untuk bikin narasi. Biar kita ngerti ini maksudnya apa. Djiwo merekam suara dia, narasi, terus dikirim ke saya. Saya dengerin terus ini cuma jadi MP3 biasa. Saya respon memakai visual. Nah responnya begini…
Jadi kita itu misalnya jalan kemana, dapet kerjaan. Atau nggak iseng-iseng kita jalan bawa kamera, kita rekam apapun. Kemudian karena file-file itu tidak direncanakan, kita nggak tahu mau diapakan. Akhirnya beberapa file kita buang karena kita butuh hardisk kosong. Tetapi kemudian ini justru bisa digunakan lagi.Kita menggunakan istilah upcycled footage. Ini adalah footage yang tidak digunakan. Sisa edit dan sudah jadi sampah hardisk. Kita gunakan lagi. Akhirnya kita dapat formula bahwa, oke narasi ini mendingan saya visualisasikan dari berbagai footage. Saya cuma memilih misalnya footage ini kayaknya cocok untuk narasi itu. Pilih di situ. Makanya ini saya bilang tadi, kolase. Kita akan dapat artinya ketika melihat big picture. Sebenarnya tidak menjelaskan secara lugas narasinya Djiwo, tapi lebih ke eksperimental. Kalau orang sekolahan bilang ini kan dokumenter eksperimental. Manual book. Segampang itu sebenarnya. Pengen juga ini jadi karya visual, tapi jadi karya rupa juga. Nggak sekedar dokumenter biasa. Lebih ke situ sih. Saya ingin bermain-main saja.
H: Ketertarikan Anda pada film terutama dokumenter, apakah selalu berkaitan dengan musik atau ada hal lain?
E: Saya itu senang musik tapi nggak bisa main musik. Musisi gagal. Jadi saya milih jadi video-rocker (orang yang merekam rock, lebih ke situ). Tapi intinya membuat sesuatu yang saya senang, karena saya mengerti.
Dengan mudah kita mendapatkan uang bila kita membuat video-video, dokumenter tentang kemiskinan, tentang politik. Itu gampang. Duitnya gampang. Saya cepat kaya kalau bikin itu. Cuma satu: saya bukan orang sosial. Saya bukan orang FISIP. Saya nggak ngerti politik. Kalau saya bikin (dokumenter – red) politik jadinya mengada-ada. Jadi heran aja kalau saya bikin film kemiskinan. Ya sudahlah, saya milih musik aja. Saya kenal beberapa orang (musik – red), ya saya bikin itu. Jadi memang sebagian besar musik, cuma saya selalu bikin progress. Misalnya, saya pernah bikin biografi band (Superglad), kemudian saya bikin Rock in Solo 2011 (tentang konser), terus Rock in Solo 2012 (ulasan konser berbentuk dokumenter), baru Pamurba Yatmaka ini yang lebih eksperimental.
Musisi perlu video seperti ini (Pamurba Yatmaka – red) untuk menjelaskan visi dia. Karena tiga, empat menit lagu kadang-kadang tidak cukup untuk menjelaskan itu. Musisi punya cara-cara tersendiri untuk menjelaskan statement-nya. Dia bisa bikin blog atau bikin video, atau dia bikin komik, untuk menjelaskan isi kepala mereka. Penggemar akan jauh lebih mengerti. Akan sangat positif untuk para penggemar.
H: Apa yang Anda harapkan ketika seorang penonton menonton video seperti ini? Apakah terlintas untuk mengedukasi penonton, supaya mereka jadi memahami musik bukan sekedar suara, noise, tapi juga filosofi?
E: Ya, edukasi pasti. Maksudnya, satu: bahwa musik itu dinikmati, secara musikal enak. Itu bisa. Nggak ada yang mengharamkan itu. Tetapi ya, nggak cuma di metal, tetapi di musik lain juga. Ada pesan-pesan. Musisi akan meluangkan waktu untuk berpikir, membuat lirik, itu sebenarnya proses kreatifnya dia. Kayak tadi saya bilang, musisi butuh media lain untuk menjelaskan pemikirannya. Sama dengan misalnya, zine, itu kan sangat membantu … para penggemar akan lebih dekat … para penggemar bisa nggak setuju. Itu nggak masalah. Tapi setidaknya musisi perlu itu. Perlu menjelaskan, supaya nggak jadi mengada-ada.
H: Ada dua pertanyaan: siapa sutradara dokumenter musik favorit Anda? Bagaimana Anda melihat perkembangan dokumenter musik di Indonesia?
E: Pastinya inspirasi pertama itu Sam Dunn. Dia fenomenal karena dia yang membuka saya, bahwa … ini loh … metal itu adalah musik yang penting. Dari dokumenter dia bikin Headbanger Journey, terus dia bikin Global Metal, dia bikin Rush, dia bikin Iron Maiden … tiba-tiba … wah … metal itu menarik dikulik … dijadikan dokumenter. Karena suka musik saya milih begitu.
Terus ada juga Martin Scorsese. Di luar dia bikin film action yang brutal, dia juga membuat film-film musik yang bagus. Rolling Stones. Terus dia juga memproduseri tujuh film tentang Blues.
Terus satu lagi favorit saya bukan pembuat dokumenter, sebenarnya. Tapi dia pembuat film fiksi, Russell Crowe. Dia bikin Vanilla Sky, Almost Famous, dan dia nggak pernah pakai scoring. Semua adegan itu diwakili oleh lagu. Jadi dia punya playlist yang banyak, dan ketika ada adegan dia bisa mengambil lagu. Kita nggak perlu scoring orkestra yang membuat adegan itu menjadi dramatik. Dia nggak perlu scoring, yang dia butuhkan cuma satu lagu yang pas untuk ditaruh di situ. Jadi pemahaman Russell Crowe tentang musik luar biasa. Film-film dia juga banyak tentang musik. Almost Famous, misalnya, film tentang wartawan musik. Ada pelajaran rock di film itu. Sangat keren.
H: Kemudian tadi perkembangan dokumenter musik?
E: Oh ya. Dokumenter musik itu justru sangat bisa mengalahkan dokumenter yang lain. Karena begini: dokumenter musik itu punya potensi bisnis yang sangat besar. Karena apa? Ketika kita bikin musik, kita ngomongin musisinya. Musisi itu punya fans. Dan dokumenter musik sangat bisa dijual. Ketika kita rilis fisik, fansnya pasti beli. Dan misalnya kita tahulah, Burgerkill. Coba lihat Burgerkill bisa menjual 75.000 DVD. Belum ada mungkin film Indonesia yang bisa melampaui penjualan DVD Burgerkill. Itulah kekuatan dokumenter musik. Kalau kita mau bilang siapa wakil industri musik di film, ya dokumenter musik.
H: Ada pengalaman menarik selama menggarap Pamurba Yatmaka?
E: Yang menarik saya nggak pernah ketemu Djiwo. Cuma sekali. Jadi kita cuma diskusi pakai WhatsApp (WA). Sebelumnya kan saya menggarap video klip Cakra Bhirawa, nah itu sama. Kita nggak pernah ketemu, cuma lewat pesan WA. Suatu hari saya mengirim pesan “mas saya butuh gambar kalian sedang nge-band”. Djiwo merekam itu di Solo dan dikirim ke saya. Ya sudah, tinggal dipadukan gambar dari Djiwo dan gambar dari saya.
H: Anda pernah terpikir nggak, misalnya, membuat sebuah bank data yang berisi footage band-band black metal di Indonesia?
E: Saya sudah melakukan itu sebenarnya. Memang kita nggak bisa hadir di setiap gigs karena keterbatasan dana dan juga jarak. Cuma kita dibantu oleh, misalnya, Sagitha. Dia punya bank data juga. Kita dibantu jaringan dan juga dibantu data. Yang sempat kita datang terus kita rekam sebentar. Itu semua kita taruh di channel kita di Youtube, Anarcho Brothers. Tapi nggak cuma metal.
H: Ketika Anda menyodorkan Pamurba Yatmaka, apa harapan Anda ke orang-orang yang menontonnya? Anda mengharapkan respon seperti apa ke mereka?
E: Sebenarnya yang harus ditanya Djiwo. Saya cuma meresponnya secara visual. Tapi ada dua sih misinya.
Pertama, saya pengin orang di luar scene metal – orang yang nggak tahu musik – mengerti bahwa ada semacam anjuran atau … apa ya … visi dari dunia musik yang kontennya mengkritik dan mengajarkan nilai-nilai yang secara kini ada. Jadi film ini, ketika narasinya dibawakan Djiwo, itu bukan soal spiritual lagi. Karena dia bicara dengan Bahasa Indonesia yang cukup jelas. Orang bisa menangkap kritikan itu.
Kedua, bagi scene musik apapun. Disamping misi itu mereka lihat, saya pengin ini menjadi inspirasi, bentuk baru produk musik. Musik itu bukan cuma klip, nggak cuma dokumenter biografi, nggak cuma video konser, tapi ada video manual. Jadi band itu punya produk lain lagi.
H: Anda tadi ngomong tentang mistis, spiritual. Kalau buat Anda pribadi, ketika membuat film itu dan kemudian mendengarkan album Djwo, pengalaman apa yang Anda rasakan? Kalau bisa dibahasakan dengan cara apa?
E: Kalau pengalaman sih … apa ya. Saya melihat itu sebagai satu yang ilmiah. Justru karena misi kita justru membuang stigma mistis. Kejawen itu adalah kepercayaan orang Jawa. Sekarang kalau kita ngomong Kejawen, orang ngomongin dukun, klenik, demit. Justru stigma ini yang mau kita geser. Ketika membuat video ini kita sudah nggak punya pikiran ini-itu. Nggak. Karena ini spiritual. Nilai inilah yang ada sekarang ini. Kita nggak bicara masa lalu.
Sumber : www.jurnal-headbanger.com
Komentar
Posting Komentar